Opini: Antisipasi Modus Pelanggaran Pada Pilkada Serentak 2024


Opini:
Antisipasi Modus Pelanggaran Pada Pilkada Serentak 2024

Oleh: Lalu Darmawan

    Ketua KPU Kabupten Lombok Tengah
                           2020-2024

Pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 akan berlangsung pada Rabu 27 November 2024 (PKPU 2/2024). Meskipun masih cukup lama namun para Bakal Calon Kepala Derah sudah mulai bermunculan dan bersosialisasi memperkenalkan dirinya ke hadapan publik. Ada dari kalangan Birokrat, karir, ada dari kalangan Pengusaha, ada dari kalangan tokoh Ormas, ada dari kalangan Politisi. Bahkan ada Kepala Daerah yang akan mencalonkan lagi yang biasa disebut petahana (incumbent).
Secara keseluruhan, Pilkada 2024 akan dilaksanakan untuk memilih Kepala Daerah di 37 Propinsi, 93 Kota, dan 415 Kabupaten. Menarik memang jika kita melihat bakal calon kepala daerah yang mulai bermunculan saat ini, berbagai macam cara dilakukan untuk menarik perhatian publik. Tidak ada yang salah, sepanjang itu dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami bahwa hak politik setiap warga negara merupakan bagian dari hak-hak yang dimiliki setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Hak turut serta dalam pemerintahan dapat dikatakan sebagai bagian yang amat penting dari demokrasi. Hak ini bahkan dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari demokrasi. Jika hak ini tidak ada dalam suatu negara, maka negara tersebut tidak semestinya mengakui diri sebagai negara demokratis. Negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pada umumnya mengakomodir hak politik warga negaranya dalam suatu penyelenggaraan Pemilu, baik Pemilu maupun Pilkada. Bahkan dalam helat demokrasi di tingkat paling bawah yaitu Desa (Pilkades) dan Dusun (Pilkadus) sekalipun.
Jika mencalonkan diri sudah menjadi hak dari setiap warga negara maka tidak ada yang salah bagi setiap putra putri terbaik bangsa untuk tampil mengajukan diri sebagai pasangan calon, bisa melalui jalur partai politik bisa juga melalui jalur perseorangan (Independent).

Mengingat helat Pilkada 2024 ini adalah momentum Pilkada terbesar sepanjang sejarah Pilkada di Indonesia, maka patutlah kita merinci persoalan atau pelanggaran yang berpotensi terjadi. Baik pada tahap sebelum Hari pemungutan suara maupun tahap setelah Hari pemungutan suara.
Pertama, netralitas Aparatur Sipil Negara. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah. Sebagai salah satu profesi, ASN dituntut menjalankan tupoksinya dengan menjunjung tinggi kode etik profesi yang memang dengan sengaja diatur untuk kepentingan ASN itu sendiri. Aturan tersebut dibuat semata mata agar supaya ASN dapat bekerja professional tanpa tekanan atau membawa kepentingan sekelompok orang. Salah satu bentuk kode etik ASN tersebut adalah menjaga kenetralannya dalam Pilkada (lihat, Rahmad Ramli, 14 Mei 2024. RumahPemilu.org).

Dalam rangka memitigasi penyalahgunaan peran ASN dalam Pilkada mendatang, tentunya penyelenggara pemilu khususnya Bawaslu jangan jenuh untuk terus melakukan pencegahan dan pengawasan. Memang benar bahwa di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sedemikian detil diatur tentang ancaman pidana bagi setiap pelanggaran, termasuk pelanggaran netralitas ASN. Tinggal Bawaslu dalam hal ini mesti lebih inovatif dalam melakukan kegiatan pencegahan, tidak sekedar dengan metode surat himbauan yang terkesan konservatif dan administratif. Tapi harus mampu menciptakan satu wujud kegiatan pencegahan out the box, misalnya melibatkan ASN menjadi pelopor netralitas ASN.

Sekedar berbagi pengalaman sewaktu Penulis sebagai Penyelenggara Pilkada, bahwa ASN yang menempati posisi atau kedudukan strategis dalam birokrasi sipil cenderung terlibat dalam politik, baik secara ‘progresif’ semacam tindakan halus misalnya dengan menceritakan pilihannya kepada orang lain, agar orang lain terpengaruh ikut pilihannya, maupun secara ‘pasif' (tindakannya seolah netral tapi gesturenya tertuju pada 1 calon). Prototype seperti ini dapat dinilai sebagai bentuk dukungan terselubung kepada salah satu calon (candidate), yang motivasi utamanya untuk meningkatkan prospek jenjang karier. Iming-iming atau janji posisi khusus sering menjadi daya tarik apabila kandidat atau elite terpilih menjadi kepala daerah.

Praktik penyalahgunaan peran ASN telah mencoreng budaya demokrasi. Dalam rangka mengembalikan peran ASN sebagai pelayan publik yang profesional dan bebas dari intervensi politik, perlu adanya upaya yang sistematis dan konsisten.

Netralitas birokrat adalah prinsip dasar yang harus dipegang teguh dalam melaksanakan tugas sebagai pelayan publik dan sebagai pengeksekusi kebijakan pembangunan. Jika terjadi intervensi politik dalam tubuh birokrasi, maka sistem pengelolaan dan pembinaan kepegawaian akan mengalami dekonstruksi dimana pengangkatan individu pada posisi strategis dalam birokrasi akan didasarkan pada preferensi politik, bukan pada kemampuan, kapasitas, atau pengalaman kerja yang relevan.

Oleh karena rentannya penyalahgunaan peran ASN dalam Pilkada, tentu hal ini harus menjadi perhatian bersama baik penyelenggara maupun peserta. Agar supaya konflik kepentingan dan penyanderaan peran ASN selama Pilkada dapat dihindarkan. Jangan sampai niat baik untuk memilih calon Kepala Daerah menjadi problem dalam pelaksanaan Pilkada 2024 dan jangan sampai pula niat baik tersebut akan berdampak buruk terhadap karir dan aktifitas kepegawaian ASN. Niat baik harus dijalankan dengan cara yang baik pula.

Kedua, keberpihakan penyelenggara, sebagaimana dipahami KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu dan Pilkada melekat sumpah jabatan kepadanya, bahwa secara detil diatur dalam norma UU 10/2016 bahkan sampai 1 lembaga khusus dibentuk untuk menjaga wibawa dan marwahnya, yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), (UU 7/2017). Keberpihakan penyelenggara biasanya diawali dari kesepakatan pada ‘pengkondisian' keadaan untuk menguntungkan pihak calon tertentu dengan kompensasi uang atau barang atau proyek lainnya.

Perlu diantisipasi dalam konteks ini, tidak hanya pada level badan adhoc tapi juga menyasar level level tingkatan diatasnya. Persekongkolan penyelenggara dengan calon sekali lagi perlu penulis stressing sangat berpotensi menimbulkan benturan keras antar masyarakat (social distruction). Ibarat turnamen sepak bola, perseteruan antar pemain cukup wasit yang meredam, tapi kalau panitia sudah bersekongkol dengan salah satu pemain, maka  penonton pasti akan ikut turun gelanggang.

Mempengaruhi petugas penyelenggara Pilkada. Biasanya dilakukan dengan menawarkan imbalan kepada para petugas agar mau mengalihkan perolehan suara dari kandidat yang tidak punya saksi di TPS. Jika modus ini ketahuan biasanya dalih yang digunakan adalah petugas telah melakukan kekeliruan dan salah tulis. (Lihat,  hukumonline.com. 19 Februari 2024). Modus yang lain, membagikan sisa surat suara untuk dibagi kepada saksi yang hadir, termasuk modus yang dioperasikan di tahapan rekapitulasi, menambahkan suara masing masing calon  dari surat suara tidak sah atau suara batal modus ini dikenal dengan sandi (gelembung besar calon sebelah).

Ketiga, keterlibatan Aparatur Negara selain ASN, misalnya perangkat desa, biasanya praktik operasinya dengan menempatkan aparatur desa sebagai agensi penyaluran bansos, atau sembako calon. Ada ruang kompromi yang sering terjadi dalam situasi ini, satu sisi masyarakat berkehendak sadar menginginkan semacam bantuan kontan atau cash dari calon sebagai prasyarat untuk menjatuhkan pilihannya, pada sisi yang lain, aparatur pemerintah sadar betul tindakan seperti itu salah. Magnet godaan seperti ini sangat keras daya pikatnya, bahkan boleh jadi Bawaslu dapat mereka kelabui, jika demikian maka hanya satu harapan bahwa kita betul-betul membutuhkan suplemen kesadaran dan jiwa patriot demokrasi untuk menghalau daya tarik godaan tersebut. Jangan sampai di-permissive-kan adigium 1000 cara kecurangan akan dilakukan demi meraih 1 kemenangan atau mau dilegalkan formalkan dengan membolehkan praktik bagi sembako untuk pemilih, sehingga berlaku siapa kuat dia dapat?.

Yang terakhir, barangkali tidak ada pasangan calon yang tidak berharap menang, bahkan sampai ada ‘kelakar' calon kotak kosong pun berharap ingin menang, pertanyaannya mengapa bisa demikian? Jawabannya karena amanah itu terhormat dan mahal. Bayangkan untuk menjadi calon saja berapa milyar rupiah harus dikeluarkan? Memang betul praktik mahar politik itu dilarang bahkan jika terbukti, maka sanksinya adalah pembatalan calon. Lantas harus bagaimana? Dalam situasi demokrasi kita saat ini, tipe calon yang dibutuhkan adalah figur yang sudah yakin dirinya sudah cukup (i am enough), dan yakin dirinya sudah selesai (i am finished) sehingga jikapun uang pribadinya dimodalkan tidak kemudian babibu cari pengganti setelah ia terpilih dikemudian hari.

Demikian, semoga Pilkada 2024 berjalan damai, menghasilkan pemimpin yang sejati jatinya pilihan rakyat, demi mewujudkan keadilan dan kemakmuran untuk rakyat seluruhnya. Wallahu a'lam.

Lalu Darmawan
Ketua KPU Kabupten Lombok Tengah
2020-2024