Foto: Salman Faris
Opini:
Orang Sasak Menginginkan Gubernur Bukan Wakil Gubernur
Oleh: Salman Faris
Malaysia, 9 November 2024. Sedikitnya ada dua situasi kebatinan politik orang Sasak saat ini, terutama menjelang tanggal 27 November 2024. Politik orang Sasak memang agak rumit untuk dirumuskan dalam satu definisi dan bentuk yang kongkret. Karena politik orang Sasak telah dibentuk dalam keterbelahan oleh sejarah. Susah menyatukan kepentingan politik meski hidup dalam satu atap yang sama sentiasa menggerus orang Sasak berhadapan dengan pilihan yang lebih dari satu. Atas dasar ini, saya berteori bahwa orang Sasak tidak pernah dapat disatukan dalam berpolitik. Hanya saja, jika pandai mengkonsolidasikan jumlah mereka yang mayoritas, tujuan orang Sasak gubernur bukan tidak mungkin.
Seperti diketahui, dalam Pilkada tahun 2024 ini pun, orang Sasak terbelah sedikitnya menjadi tiga. Saya tidak ingin membahas perkara tersebut secara terperinci dalam tulisan ini. Saya akan terus kepada kesimpulan bahwa meskipun terbelah menjadi ribuan kelompok sekalipun, orang Sasak tetap menginginkan gubernur NTB berikutnya mestilah orang Sasak.
Kenapa orang Sasak menginginkan hanya gubernur, bukan wakil? Salah satu yang sangat dikhawatirkan orang Sasak ialah jika gubernur bukan dari kalangan Sasak lama-lama menjadi budaya, menjadi kebiasaan di NTB. Hal ini terbentuk secara perlahan dengan ditopang oleh kerelaan orang Sasak memberikan kemenangan kepada calon yang bukan Sasak. Kebiasaan tersebut kemudian semakin lama dianggap sebagai satu kewajaran (kebenaran). Akhirnya, meskipun orang Sasak sangat sakit tidak dipimpin oleh oleh orang Sasak sendiri sebagai gubernur, namun keadaan itu diterima begitu saja sebab sudah menjadi kebiasaan.
Malangnya, ketika menerima rasa sakit itu sebagai satu kenyataan yang biasa (yang benar), perjuangan orang Sasak sebagai gubernur semakin lama pupus, meluntur dan lenyap. Dalam konteks ini, Pilkada 2024 merupakan pertarungan masa depan orang Sasak dalam politik NTB. Apakah orang Sasak yang memimpin atau sebaliknya. Menerima kenyataan sebagai populasi paling banyak namun terbiasa dipimpin oleh bukan orang Sasak. Sekali lagi, Pilkada 2024 ini, benar-benar pertaruhan pilitik orang Sasak.
Tegasnya lagi, bagi orang Sasak, memberikan Zul menjadi gubernur sehabis TGB ialah satu kesalahan strategi politik yag fatal. Karena itu, sekali lagi, bagi orang Sasak, Pilkada 2024 ialah momentum mengembalikan orang Sasak ke posisinya yang hak, yakni gubernur.
Ada kesadaran kuat pada diri mereka sebagai kelompok paling banyak. Hanya saja, paling banyak sebenarnya tidak berarti dominan. Sebab dominasi dapat dilakukan apabila memenuhi syarat kekuatan finansial, ilmu pengetahuan, budaya, industri dan politik kuasa. Jadi, sebenarnya orang Sasak tidak pernah benar-benar dominan meskipun populasi mereka jauh lebih banyak. Meskipun begitu, logika orang Sasak ialah, seharusnya yang paling banyak yang memimpin. Jelasnya ialah orang Sasak seharusnya menjadi gubernur di NTB.
Selain itu, orang Sasak termasuk jenis bangsa yang sangat pandai menyimpan peristiwa yang dialami. Meskipun sampai sekarang, orang Sasak belum berhasil mengkonversi ingatan sebagai kekuasaan. Namun kemampuan menyimpan ingatan merupakan modal penting untuk perubahan sosial. Dalam hal ini, tentu saja, di masa hadapan orang Sasak masih mempunyai harapan untuk mendapatkan tujuan kebangsaan mereka yang lebih baik.
Ingatan politik orang Sasak cukup panjang. Hanya saja, yang ingin saya singgung ialah ingatan politik terkini. Dalam beberapa kalangan orang Sasak, mereka sebenarnya sangat kecewa dengan ingatan politik lima tahun terkini dalam kepemimpinan bukan orang Sasak. Mereka menyadari dalam lima tahun terakhir banyak musibah dunia terjadi, karena itu, dalam hal ini orang Sasak tidak banyak mempersoalkan kepemimpinan.
Khususnya dalam birokrasi pemerintahan, bagi orang Sasak, kebijakan gubernur sebelum ini, mereka rasa sangat tidak menguntungkan orang Sasak. Memang, Sekda NTB ialah orang Sasak, namun dalam rentang perjalanan pemerintahan, orang Sasak sangat terganggu dengan manuver gubernur. Secara simbolik, sikap gubernur serupa atau dapat dinilai setara dengan merendahkan orang Sasak. Pada sudut pandang tertentu, posisi dan personalitas Sekda NTB merupakan representasi Sasak sebagai bangsa. Karena itu, begitu manuver kebijakan gubernur nampak membadaikan Sekda NTB, itu dimaknakan sebagai sikap pandang remeh gubernur terhadap Sasak sebagai bangsa. Faktanya, orang Sasak sangat tersinggung dengan gubernur. Dan sudah pasti, ketersinggungan itu tersimpan dalam ingatan.
Ada yang berpandangan bahwa manuver politik Sekda NTB sendiri sebagai salah satu pemicu kekacauan birokrasi di pemerintahan provinsi NTB. Pandangan ini dapat diterima, tetapi bagi orang Sasak, cara bermain gubernur masih dipandang mencederai orang Sasak. Banyak birokrat Sasak yang berseberangan dengan Sekda NTB, tetapi permainan gubernur terhadap Sekda NTB, tetap tidak dapat mereka terima.
Ingatan politik yang tersinggung tersebut kemudian membentuk gerakan bawah sadar orang Sasak untuk mewujudkan tujuan gubernur NTB orang Sasak. Mula-mula mereka berusaha keras agar calon gubernur dari Sasak tidak lebih dari tiga orang. Teori ini sebenarnya masih lemah sebab seperti yang diketahui, pasangan calon ditentukan oleh partai politik bukan kelompok masyarakat, namun cukup baik dikemukakan sebagai landasan pembacaan situasi kebatinan politik orang Sasak. Tujuan besar orang Sasak ialah calon tunggal orang Sasak.
Upaya tersebut tidak berhasil namun sedikit melegakan orang Sasak sebab pada akhirnya hanya dua orang Sasak yang bertanding dalam Pilkada 2024. Ini berarti akan lebih mudah bagi orang Sasak mengonsolidasikan tujuan politik mereka. Meskipun tidak bermakna tak banyak tantangan terutama terkait bagaimana mengorganisasi orang Sasak agar tetap memenangkan calon dari Sasak meskipun pemilih dihadapkan pada dua calon dari Sasak.
Dari cara pengorganisasian pemilih ini kemudian dapat dilihat bukti semakin menguat bahwa untuk pilkada 2024, sudah harga mati, yakni mesti orang Sasak menjadi gubernur. Ada semacam mekanisme bawah sadar yang terus mengalir yakni kedua pasangan calon gubernur Sasak memiliki motivasi politik yang sama. Atas dasar ini pula tumbuh satu etika perjuangan politik yakni yang penting orang Sasak (jangan mengganggu batur mesak). Jadi, terhadap kedua calon tersebut tidak diciptakan banyak gesekan yang dipandang dapat merugikan kedua belah pihak.
Cara kampanye yang dipersembahkan oleh kedua tim dari calon Sasak seolah dalam satu kesepahaman. Padahal saya yakin itu tidak pernah dibicarakan secara formal. Sudah pasti tim Iqbal-Dinda bertujuan mengalahkan kedua pesaing dan tampil sebagi pemenang. Hal yang sama pada tim Rohmi-Firin. Mereka berjuang sebagai pemenang dengan cara mengalahkan kedua pesaing. Hanya saja, dalam mempertarungkan tujuan, kedua tim ini tidak sekeras ketika mereka berhadapan dengan tim Zul-Uhel. Dengan kata lain, peta konflik ketiga calon tersebut agak mudah dirungkai.
Meskipun tim Iqbal-Dinda menyerang tim Rohmi-Firin namun masih dalam batas kesadaran bahwa pasangan ini adalah Sasak gubernur. Begitu juga sebaliknya, tim Rohmi-Firin terbingkai dalam kesadaran bahwa Iqbal adalah orang Sasak. Hal berbeda ketika, baik tim Iqbal-Dinda maupun tim Rohmi-Firin berhadapan dengan tim Zul-Uhel. Suasana kebatinan orang Sasak tentang Zul sebagai bukan orang Sasak, pernah mencederai kebangsaan orang Sasak, tidak dapat membumi dengan karakter orang Sasak nampak bergelora. Karena itu, semangat untuk mengalahkan Zul semakin berkobar. Tujuan perjuangan politik mereka ialah yang penting bukan Zul.
Seperti yang saya katakan sebelum ini, memang tidak mudah mencapai tujuan politik Sasak gubernur dalam Pilakda 2024 ini. Akan tetapi, corak pertarungan politik saat ini cukup menarik terutama jika menelisik konsentrasi perjuangan orang Sasak untuk menuju Sasak gubernur. Mereka sudah ada sedikit kemajuan dalam memetakan pola pertarungan politik. Mereka semakin paham siapa lawan yang harus dikalahkan dan siapa lawan yang diberikan menang.
Tantangan itu juga karena masih ada pemilih Sasak yang melirik Zul-Uhel. Mereka beralasan, yang dilihat bukan Zul melainkan Uhel. Ada yang menarik dalam hal ini, sebenarnya orang Sasak mempunyai keinginan yang sama yakni Sasak gubernur atau sekurang-kurangnya ada keterwakilan Sasak dalam pasangan. Hanya saja, cara mereka mengeskpresikan perjuangan yang berbeda. Tim Iqbal-Dinda dan tim Rohmi-Firin sudah pasti dan jelas bahwa orang Sasak itu ialah gubernur. Sedangkan tim Zul-Uhel merepresentasikan diri pada wakil gubernur, yang sudah tentu sangat berlawanan dengan keinginan orang Sasak sebagai gubernur.
Situasi di atas memberikan informasi bahwa sejauh ini, orang Sasak yang tergabung dalam tim Zul-Uhel tidak mendasari perjuangan mereka kepada kesadaran Sasak gubernur. Melainkan dorongan fanatisme kepada personalitas Uhel. Jika situasi ini betul-betul benar, maka dapat dikatakan bahwa pemilih Zul-Uhel dari kalangan Sasak ini terbatas pada mereka yang mempunyai hubungan kebatinan dengan Uhel. Jika pun ada pemilih Sasak yang melihat kepada Zul, boleh jadi disebabkan hubungan pragmatis. Hubungan berdasarkan kepentingan negosiatif. Karena itu, masih besar kemungkinan untuk mengubah kesadaran mereka menjadi beralih kepada tujuan orang Sasak gubernur. Tentu saja dengan cara arus deras tujuan politik orang Sasak gubernur semakin digelorakan menjelang tanggal 27 November 2024.
Selain itu, tantangan yang bersifat teknis yakni kenyataan bahwa Zul masih menguasai birokrasi meskipun sudah cukup lama tidak berada di kursi. Dalam konteks politik Indonesia, birokrasi selalu menjadi pendulum besar dalam menentukan kalah menangnya calon yang bertanding. Dengan kata lain, birokrasi sudah mempunyai karakternya sendiri dalam setiap kontestasi politik. Jika hal ini benar, maka sudah sepatutnya perjuangan politik orang Sasak gubernur ini bersedia bertempur penghabisan dan bersiap-siap mengubah-menggunakan strategi pertandingan jitu di menit-menit akhir. Sebab, optimalisasi gerakan politik birokrasi kebiasaannya juga digerakkan di menit-menit akhir.
Ada upaya untuk menetralisir primordialisme politik ini. Tetapi, upaya tersebut tidak pernah benar-benar berhasil. Karena kenyataan bahwa setiap provinsi di Indonesia didiami oleh etnis yang berlainan, maka bagaimanapun primordialisme ini terus berkembang menjadi pupuk yang baik dalam kontestasi politik. Karena itu, ketika orang Sasak meradang dipimpin oleh bukan orang Sasak, ada pintu besar untuk membenarkan. Terutama jika merujuk kepada rasa ketidakadilan, rasa ketersinggungan mereka terhadap pemimpin yang tidak memahami reliatas mereka sebaga populasi paling banyak di NTB.
Hanya saja, waktu untuk memperjuangkan orang Sasak gubernur tersebut makin sempit. Karena itu, mungkin ini sudah waktunya bagi mereka untuk lebih menegaskan lagi siapa lawan bersama.
Menegaskan siapa batur Sasak?
Menegaskan siapa lawan batur Sasak?
Malaysia, 9 November 2024.
Salman Faris